Dapatkan kata kata Motivasi Harian anda dengan cara ketik Reg_Motivasi_nama anda_nomor HP_Alamat, kirim ke xxxx0000xxxx>
BelajarInggris.net Tempat Kursus Bahasa Inggris Online cepat dan Mudah tanpa grammar Full Conversation / Percakapan Bersertifikat

Senin, 20 September 2010

Masa kecil

0 komentar

Anak unggulan pasti jadi dambaan tiap orang tua. Unggul di luar, unggul di dalam. Luar, jika dinilai dari bentuk fisik dan kesehatannya. Dan dalam, diukur dari tingkat kecerdasan dan kesalehannya.

Memang, ada keunggulan-keunggulan yang mesti diupayakan. Bisa dari gizi, lingkungan rumah, dan mutu pendidikan. Tapi, ada juga yang memang ’sudah dari sananya’. Begitu orang tua di saat kecil, begitu pula keadaan sang anak. Jadi, nggak usah heran jika anak berperilaku rewel. Karena boleh jadi, begitulah keadaan ayah atau ibunya ketika kecil.

Masalahnya, dari pihak mana sifat rewel itu muncul. Dari ibu, atau dari ayah. Karena umumnya, orang cuma mengakui sifat turunan positif. Dan melupakan semua yang negatif. Motonya sederhana, "Rewel? Nggak pernah tuh!" Rasa itulah yang kini dialami Bu Heni.

Ibu tiga anak ini kadang dibuat bingung sama anak ketiganya. Walau baru berusia tiga tahun, ulah si bungsu bisa mengalahkan dua kakaknya yang sudah di TK dan SD. Cuma sayangnya, kelebihannya justru pada yang negatif: hobi menangis, susah diatur, dan sering berperilaku kurang bersih.

Bayangkan, si bungsu bisa menangis melebihi rata-rata kakaknya. Kalau kakaknya menangis paling lama setengah jam di usia yang sama, si bungsu bisa hampir sepuluh kali lipat. Jadi, kalau si bungsu mulai merengek dan menangis di saat film India baru mulai, menangisnya baru akan usai ketika film hampir habis. Hampir tiga jam, Bu Heni ’dipaksa’ menyimak ekspresi duka si bungsu.

Belum lagi urusan makan. Di yang satu ini, kapasitas tidak berbanding lurus dengan usia. Biar usia beda dua dan empat tahun, soal jatah makan tetap sama. Kalau si kakak dapat satu mangkuk bubur ayam, begitu pun dengan si bungsu. Kalau kakak-kakaknya satu gelas es teler, begitu pun ukuran minimal buat si bungsu. Beda umur, satu takaran.

Kadang Bu Heni bingung sendiri. Kok yang satu ini beda banget sama yang lain. "Lebih merepotkan. Kira-kira mirip siapa ya?" batin Bu Heni berbisik pelan. Bu Heni mulai menerawang. Sejauh itu, Bu Heni sangat yakin kalau masa kecilnya tak seperti si bungsu. Ibunya pernah cerita kalau dulu ia begitu kalem, jarang nangis, juga penurut. Kalau si bungsu tidak mirip dia, siapa lagi yang patut dituduhkan kalau bukan suami Bu Heni.

Mas kecilnya rewel, ya?" tanya Bu Heni suatu kali. Suaminya cuma bisa ngasih senyum. Itulah mungkin tanda setuju yang paling lembut dari seorang suami. Sekali lagi, mungkin! Sepertinya, suami Bu Heni tak mau menyoal urusan masa kecil. Kalau toh si bungsu memang mirip dengan ayahnya di waktu kecil, apa yang salah? Toh. ia memang ayah kandungnya. Beberapa tahun ke depan pun, sang anak akan berubah. Jadi, kenapa mesti dibicarakan.

Tapi. Bu Heni masih tetap penasaran. Ia baru benar-benar yakin ketika itu mertuanya cerita soal suaminya waktu kecil. "Suamimu dulunya memang rewel. Uh, rewel sekali! Udah gitu. makannya juga banyak. ungkap ibu mertuanya suatu kali. "Tapi," lanjut sang ibu mertua. "Anak laki semata wayang ibu itu selalu mandi tepat waktu!" ujar ibu mertua Bu Heni menambahkan.

Kalimat terakhir itu, dipahami Bu Heni sebagai penyeimbang. Supaya Bu Heni melihat sisi positifnya. Sampai di situ, Bu Heni sangat setuju. Karena hingga kini pun, suaminya memang selalu tampil perlente: rapi, bersih, dan wangi. Kalau harus dikasih pilihan sewaktu pulang kerja: makan dulu atau mandi dulu? Bu Heni yakin, suaminya pasti memilih mandi dulu.

Yang jadi pertanyaan, dari mana si bungsu bisa berperilaku kurang bersih: susah mandi, sering main tanah, dan pipis sembarangan. Kalau soal itu, Bu Heni jadi tersudut sendiri. Jangan-jangan….

"Kamu dulu memang suka jorok, Hen!" ucap ibu kandung Bu Heni suatu hari. Tentu saja, ucapan sang ibu menyentak hati Bu Heni. Jorok gimana? "Maksud ibu, jorok gimana?" tanya Bu Heni agak kaget. Tapi, yang ditanya cuma senyum. "Apa Heni dulu jarang mandi, Bu?" tanya Bu Heni ke ibunya. "Tidak! Sering kok!" jawab sang ibu. "Apa Heni dulu sering pipis sembarangan, Bu?" tanya Bu Heni lagi membandingkan dengan si bungsu. "Nggak!" tegas sang ibu menihilkan kecurigaan Bu Heni tentang masa kecilnya. "Lalu jorok yang seperti apa. Bu?" Bu Heni kian mendesak. "Si Bungsu sehat-sehat saja kan, Hen!" ucap sang ibu mencoba mengalihkan pembicaraan.

Tentu saja, cerita ibu kandung Bu Heni tidak memuaskan Bu Heni. Di satu sisi. ia memang lega. Karena sudah jelas, suaminyalah yang punya masa kecil seperti si bungsu: rewel! Tapi, apa yang dimaksud ibu kandung Bu Heni tentang masa kecil Bu Heni yang jorok itu?

Setahu Bu Heni, si bungsu malas sekali mandi dan suka main tanah kotor. Tapi, semua itu sudah terbantahkan kalau itu mirip Bu Heni. Bu Heni lagi-lagi bingung. Ia masih sangat penasaran dengan ucapan ibunya soal jorok itu. "Jorok seperti apa, ya?" rasa penasaran Bu Heni kian menjadi.

Bu Heni memperhatikan tingkah si bungsu dari balik kaca jendela. Berlari-larian kesana kemari. Dan suatu kali, si bungsu tampak diam. Ia begitu asyik melakukan sesuatu: jari telunjuknya masuk ke lubang hidung beberapa saat. Setelah itu, jari yang sama masuk juga ke mulut. Dan ini lebih lama dari yang pertama. Terdengar pelan dari mulut si bungsu, "Mmm…, acin!"

"Astaghfirullah!" sontak, mata Bu Heni terbelalak. Rasa penasarannya terasa seperti sudah terjawab. –


Ruhaniyah seorang istri

0 komentar

Seorang personil elemen tarbiyah daerah, sempat membacakan SMS yang dikirimkan oleh seorang ibu. Begini kira-kira bunyinya, "Tolong bapak cek, bagaimana keadaan ruhiyah bapak-bapak lewat pengajiannya. Karena saya merasa, suami saya sudah kehilangan sholat malam, tilawah Al Qur’an, sholat dhuha dan ma’tsurat. Yang tersisa hanya yang wajib saja!"

Seorang istri, bagaimanapun, adalah teman setia suami. Ia ibarat teman seiring sejalan yang harus siap mendampingi dalam kondisi suka dan duka, dalam keadaan suami sedang stabil atau labil. Termasuk siap pula menghadapi kondisi keimanan dan kekuatan ruhiyah yang naik dan turun.

Memang, Dr. Yusuf Qorodhowi dalam salah satu tulisannya memuji kita, para wanita. "Menurut pengalaman saya dalam dakwah, dari pertanyaan-pertanyaan para wanita, baik tertulis atau lisan atau melalui telepon; wanita itu lebih berhati lembut, lebih taat beragama dan tunduk terhadap laki-laki."

Itu sebabnya, seorang ummahat, sempat bercerita. "Setiap kali ada seorang akhwat yang hendak menikah dan minta nasehat, yang sering saya ungkap adalah, jangan kaget dengan kondisi ruhiyah suami. Barangkali ia sulit dibangunkan untuk shalat malam, tilawahnya tak melampaui target satu juz sehari atau hal-hal lain yang tidak terbayangkan sebelumnya. Inilah lahan baru dakwah anti."

Sekali lagi, ini hanyalah kasus, tak semuanya mesti begini. Saya yakin banyak di antara ikhwah yang ibadah kesehariannya jauh melampaui target. Tapi, bila ternyata yang kita hadapi hampir mirip dengan ini, jangan menyerah! Pengalaman seorang ibu mungkin bisa kita jadikan masukan. Setiap kali suaminya menonton TV usai pulang kerja, ia duduk di sampingnya, seraya tilawah Al Qur’an. Atau pengalaman yang lain, tentang seorang bapak yang gemar menonton bola. Sang ibu dengan setia mendampinginya, tidak ikut mensuporteri tim kesayangan suami, tapi ia menggelar sajadah dan melakukan shalat malam di dekat TV sang bapak. Mereka memilih untuk melakukan aksi nyata daripada memperbanyak percakapan.

Banyak sebab mengapa seorang bapak, tak setekun ibu melakukan amal ruhiyah. Mungkin ia terlalu banyak melakukan aktivitas: pagi mencari nafkah, malam untuk kepentingan dakwah. Belum lagi kalau atas kesadarannya membantu istrinya menangani pekerjaan rumah tangga. Ia merasa lelah. Atau memang tak ada asupan yang mengingatkannya bahwa kedekatannya dengan Allah dibantu oleh kualitas sekaligus kuantitasnya melakukan ibadah.

Bagaimanapun, menjadi istri dan sekaligus ibu, adalah pekerjaan yang sambung menyambung. Tak ada berhentinya, baik fisik maupun psikis. Tentu saja ia memerlukan ruhaniyah yang kuat, karena tanpa itu, kita hanya akan dapat capek, lelah, jenuh dan bosan. Jadi, bila suami yang kita hadapi kebetulan sedang mengalami kefuturan ruhiyah, jangan sekali-kali tertular meski kemungkinan itu terbuka lebar. Kebangkitan ruhiyah kita, insyaallah, akan menimbulkan kondisi yang menentramkan dalam rumah tangga kita. Sesuatu yang sangat kita idam-idamkan.

Ibu yang lain pernah menyampaikan permasalahannya. Suaminya sama sekali tak mau menerima amplop seusai ia mengisi dauroh, khutbah Jum’at atau kajian internal yang sering diisinya dari masjid ke masjid atau kampus ke kampus. "Kapan saya berinfaq kalau saya menerima amplop itu. Biarlah itu menjadi infaq dakwah saya," begitu alasan sang suami. Menurut istrinya, mereka sendiri dalam kondisi kekurangan, "Sudah lebih dari sebulan anak-anak tak minum susu, tak makan ikan apalagi daging. Kami benar-benar mengetatkan ikat pinggang." Tetapi begitulah, itu pilihan hidup yang mereka jalani, dan Allah selalu tahu kepada siapa barokahNya diletakkanNya. Tanpa kekuatan ruhiyah sang istri, rumah tangga mereka akan berjalan dengan timpang, karena pilihan hidup sang suami mendapat penentangan dari istrinya.

Memang komunikasi suami istri dalam masalah ini adalah sesuatu yang harus dan wajib diusahakan dan dibuat seefektif mungkin. Tetapi, tanpa back up ruhiyah, kondisi ini akan membuat kita manja, kehilangan orientasi dan menuntut ganti rugi dari kesibukan suami.



Para ibunda yang dicintai Allah, di luar kita banyak sekali tantangan serta ancaman yang akan menggerogoti keistiqomahan kita, baik secara halus maupun terang-terangan. Baik melalui sindiran, ajakan atau paksaan agar kita condong menjauhi pilihan dakwah yang sudah kita azzamkan dari awal. Mestilah kita sadari bekalan kita tak mungkin selamanya terisi penuh. Adakalanya ia menetes pelan tanpa kita sadari bahwa gentong kita sudah harus diisi.

Oleh karenanya, berkhalwat dan menyambung hubungan yang kuat dengan Allah adalah sesuatu yang paling utama dalam mengawal langkah-langkah kecil kita menapaki jalan dakwah. Semoga kekuatan ruhiyah itu senantiasa menyertai langkah kita, amiin…


Laghwi

0 komentar

Kehidupan memang memberikan banyak pilihan. Ada yang sulit, sedang, dan mudah. Sekian banyak manusia yang pernah singgah di dunia ini, selalu terkotak pada tiga pilihan itu.

Ada yang mengambil pilihan sulit, apa pun risikonya. Mereka rela menyiksa diri demi kebahagiaan yang diidam-idamkan. Bentuknya pun bermacam-macam. Ada yang tidak mau menikah. Ada yang mengharamkan makanan dari yang hidup seperti binatang. Dan lain-lain. Begitu pun dengan sedang dan mudah. Pilihan mudah boleh dibilang yang paling populer, paling disukai. Tak peduli dengan urusan orang lain, lingkungan yang serba susah; pokoknya bisa hidup senang. Mereka bisa tega merampas hak orang lain, menghalalkan segala cara, demi kesenangan hidup.

Islam memberikan pilihan hidup sendiri. Tidak kaku dengan tiga pilihan tadi: sulit, sedang, dan mudah. Kehidupan dunia dalam Islam adalah sebuah persinggahan perjalanan seorang anak manusia. Dalam persinggahan itu, ada berbagai ujian. Persis seperti perantau yang tiba dari perjalanan jauh. Dan persinggahan memberikan aneka makanan dan minuman. Kalau si perantau melampiaskan lapar dan dahaganya di persinggahan itu, ia bisa lupa. Bahwa, akhir perjalanannya bukan di situ. Tapi tempat lain yang harus dengan susah payah ia capai.

Itulah yang pernah disampaikan seorang sahabat Rasul, Ibnu Umar r.a. Ia menceritakan pengalamannya ketika bersama Rasulullah saw. dalam sebuah perjalanan. Ibnu Umar mengatakan, "Rasulullah saw. memegang bahuku sambil bersabda, ‘Di dunia ini, jadilah kau seperti orang asing atau perantau. Jika berada di waktu pagi, jangan mengharap akan bertemu sore. Dan, jika berada di waktu sore jangan mengharap akan sampai pagi. Pergunakan kesempatan masa sehat untuk masa sakit, dan masa hidup untuk bekal mati." (Bukhari)

Sampai di situ, terkesan seperti Islam memilih kehidupan yang sulit. Padahal, tidak sepenuhnya seperti itu. Ketika hidup menjadi sebuah persinggahan, yang perlu diperhatikan adalah unsur keseimbangan. Karena singgah pun mencari keseimbangan baru. Allah swt. berfirman, "Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keseimbangan). Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu." (QS. 55: 7-9)

Dari keseimbangan itu, hidup menjadi proporsional: tidak melulu ke yang sulit, sedang, dan mudah. Tapi mengalir menurut takaran yang telah Allah tetapkan dalam fitrah manusia. Hal itulah yang pernah diluruskan Rasulullah saw. kepada seorang sahabatnya, Abdullah bin Amr bin Ash. Saat itu, Abdullah ingin mengamalkan Islam dengan sangat baik: berpuasa selamanya, tidak menikah, dan mengabaikan tidur. Rasulullah saw. mengatakan, "Demi Allah, aku ini orang yang paling takut kepada Allah dan paling bertakwa kepada-Nya. Tetapi, aku berpuasa dan berbuka. Aku shalat dan tidur. Dan, aku mengawini wanita-wanita. Barangsiapa mengabaikan sunnahku maka dia bukan dari golonganku." (Mutafaq ‘alaih)

Cuma masalahnya, kecenderungan-kecenderungan untuk hidup santai sangat kuat. Tanpa memberikan peluang untuk bersantai pun, umumnya orang selalu tertarik untuk bermudah-mudah. Awalnya hanya selingan, tapi berlanjut menjadi kebiasaan. Ada contoh yang mudah. Seorang mukmin sangat wajar ketika mengisi malam-malamnya dengan qiyamul-lail atau shalat malam. Di saat kebanyakan orang tidur, ia justru menangkap suasana hening itu untuk berdekat-dekat dengan Allah swt. Ia curahkan segala beban kehidupan yang begitu berat kepada sebuah kekuatan yang Maha Segala-galanya.

Namun, karena sesuatu hal, ia butuh selingan. Salah satunya, dengan menonton sepak bola. Sesuatu yang mulanya selingan ini akan bermakna lain ketika bisa mengorbankan banyak hal. Bayangkan, jika seorang mukmin menghabiskan waktu tengah malamnya hanya untuk menyaksikan pertandingan sepak bola. Penyelenggaranya bukan mukmin, dan sebagian besar pemainnya pun orang kafir. Dan itu tidak satu malam. Tapi bisa berlanjut dan menjadi rutin.

Tanpa sadar, ada sesuatu yang bergeser. Dan sesuatu itu merupakan hal besar. Bahwa, kehidupan ini bukan untuk main-main dan santai. Melainkan ada misi besar. Itulah ibadah. "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah-Ku." (QS. 51:56)

Menjaga titik keseimbangan memang bukan perkara gampang. Orang bisa terpental dari titik ekstrim satu ke titik ekstrim lainnya. Dari berlebih-lebihan dalam keseriusan hidup kepada kehidupan yang sangat-sangat cair. Sedemikian cairnya hingga tak punya nilai sedikit pun. Baik nilai ukhrawi, maupun duniawi. Tidak ada pahala sebagai buah ibadah. Tidakjuga penghasilan sebagai hasil kerja. Itulah yang disebut laghwi, sebuah pekerjaan yang tidak punya nilai apa pun. Buat dunia, apalagi akhirat.

Ada dampak buat mereka yang terbudaya dengan laghwi. Dampak itu mengalir dalam jiwa. Pelan tapi pasti. Itulah kegelisahan dan kesedihan. Suatu hal yang justru sebelumnya ingin dikubur dalam bentuk santai dan bermudah-mudahan. Rasulullah saw. mengatakan, "Seorang yang kurang amalnya maka Allah akan menimpanya dengan kegelisahan dan kesedihan." (HR. Ahmad)


Risau

0 komentar

Hari itu, seseorang menjumpai Umar bin Abdul Aziz. Khalifah dari Bani Umayyah yang sangat terkenal itu. Didapatinya Umar sedang menangis. Sendirian.

“Mengapa engkau menangis wahai Amirul Mukminin?” tanya orang itu dengan hati-hati. “Bukankah engkau telah menghidupkan banyak sunnah dan menegakkan keadilan?” tanya orang itu lagi dengan nada menghibur.

Umar masih terus menangis. Tidak ada tanda-tanda ia akan berhenti dari tangisnya. Beberapa saat kemudian, barulah ia menyahut seraya berkata, ”Bukankah aku kelak akan dihadapkan pada pengadilan Allah, kemudian aku ditanya tentang rakyatku. Demi Allah, kalau benar aku telah berbuat adil terhadap mereka, aku masih mengkhawatirkan diri ini. Khawatir kalau diri ini tidak dapat menjawab pertanyaan seandainya banyak hak rakyatku yang aku dzalimi?”

Air mata Umar terus mengalir dengan derasnya. Tidak lama berselang setelah hari itu, Umar menghadap Allah subhanahu wataala. Ia pergi untuk selama-lamanya.

Umar bin Abdul Aziz, yang menangis dan terus menangis itu, hanyalah satu contoh dari kisah ’orang-orang risau’. Ya, orang-orang yang selalu punya waktu untuk merasa risau, gundah, dan khawatir.

Bahkan sebagian mereka mengkhususkan waktu-waktu tertentu untuk risau. Risau terhadap dirinya, terhadap orang-orang di sekitarnya, atau terhadap beban dan tanggung jawab yang dipikulnya.

Paradigma orang yang menemui Umar, dalam kisah di atas, sangat berbeda dengan paradigma Umar, yang tetap saja menangis. Orang itu bertanya heran mengapa Umar masih menangis, karena dalam pandangan dirinya, Umar sudah sangat terkenal keshalihan dan kebajikannya. Umar telah banyak melakukan kebaikan, berlaku adil kepada rakyat. Dan bahkan mengantarkan mereka kepada kehidupan yang makmur dan damai.

Tetapi Umar tetap menangis. Tangis kerisauan dari seseorang yang mengerti betul bagaimana ia mesti ber-etika di hadapan Tuhannya. Tangis Umar adalah ekspresi kerisauan. Kerisauan seorang penguasa yang memikul tanggung jawab berat. Tanggung jawab memimpin ribuan rakyat. Ia juga tangis seorang yang telah menapaki tangga-tangga hikmah. Yang keluasan ilmu dan amalnya semakin membuatnya merunduk dan merendah.

Kerisauan seorang Umar, adalah bukti bahwa setinggi apapun derajat hidup orang, sesungguhnya Ia bisa risau. Meski kerisauan setiap orang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Bahkan justru di sinilah inti permasalahannya. Ialah bahwa sejarah selalu mencatat, orang-orang besar sepanjang jaman, adalah orang-orang yang punya waktu untuk risau, mengerti mengapa harus risau, dan apa yang mereka risaukan. Sebagian bahkan meniti awal kebesarannya dari awal kerisauannya.

Sebab rasa risau adalah titik api pertama, yang akan melontarkan sikap-sikap positif berikutnya, lalu membakarnya hingga menjadi matang. Sikap mawas, selalu mengevaluasi diri, tidak besar kepala, bertanggung jawab, tidak mengambil hak orang, dan lain-lainnya. Keseluruhan sikap-sikap itu, pemantiknya adalah risau.

Sejarah tidak pernah memberi tempat bagi orang-orang yang tidak pernah risau, selalu merasa aman, enjoy sepanjang hidup, tanpa beban sedikitpun, untuk dicatat dalam daftar orang-orang besar. Karena risau tidak saja simbol kesukaan akan tantangan, dinamika dan kompetisi, tapi risau juga kendali dan sumber inspirasi bagi segala sikap kehati-hatian.

Dalam pengertian inilah, kita memahami peringatan Allah, bahwa seorang Mukmin, dan bahkan setiap manusia, tidak boleh merasa aman dari adzab Allah. Orang-orang yang merasa aman, tidak pernah merasa risau, tidak punya waktu untuk risau, dan bahkan tidak mengerti mengapa harus risau, adalah orang-orang yang rugi.

Simaklah firman Allah yang artinya, ”Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalahan naik ketika mereka sedang bermain? Maka apakah mereka merasa aman dari adzab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiadalah yang merasa aman dari adzab Allah kecuali orang-orang yang merugi. " (QS. Al-A’raf: 97 - 99).

Ayat tersebut sedemikian jelas memaparkan, bahwa merasa aman dari adzab Allah adalah tindakan yang salah. Kuncinya sangat sederhana. Karena manusia tidak pernah tahu apa yang akan terjadi esok hari. Bahkan ia juga tidak bisa memastikan, apa yang akan terjadi beberapa menit kemudian. Bisa jadi besok ia melakukan kesalahan, lalu sesudah itu ia mendapat adzab. Bisa juga ia tidak melakukan kesalahan. Tetapi juga mendapat imbas adzab dari kesalahan yang dilakukan orang lain.

Hidup ini seperti hutan belantara yang sangat lebat. Manusia dan keseluruhan makhluk saling berlomba di dalamnya. Berpacu, beradu, berlomba, atau juga saling bekerjasama. Lebatnya belantara hidup membuat hidup begitu liat, keras, dan kadang harus saling mengalahkan. Dalam seluruh denyut kehidupan itu manusia terikat oleh serabut-serabut panjang dan saling berhimpitan. Ujung serabut itu terikat dengan makhluk-makhluk itu. Sedang pangkalnya ada dalam genggaman tangan-tangan Allah. Serabut-serabut itu adalah kekuasaan Allah, yang dari sana lahir takdir-takdir bagi keseluruhan hidup manusia.

Maka, rasa risau, dalam tatanan Islam adalah awal dari rasa ketergantungan kepada sumber-sumber yang memberi rasa aman. Dan, sumber utama rasa aman itu adalah Allah. Yang Maha Kuat lagi Maha Melindungi. Karenanya, orang-orang seperti Umar sangat memahami betapa risau haginya adalah sebuah proses produktif seseorang dalam berinteraksi dengan Tuhannya. Ia risau dan karenanya ia menangis. Ia menangis dan karenanya ia berharap.

Kita, di sini, sekumpulan orang-orang yang tak akan sampai menyamai Umar bin Abdul Aziz, apalagi melampaui, semestinya menjadi orang-orang yang akhirnya mengerti darimana sebuah kebesaran dimulai. Bahkan, sebuah harapan, ternyata, mula-mula adalah segumpal risau.

Salah satu kebutuhan penting dalam hidup, adalah merisaukan diri. Ia semacam rumah-rumah kecil untuk persinggahan, bagi keseluruhan alur dan aliran semangat serta gelora hidup kita. Sebuah risau adalah tali penyeimbang antara menengok ke belakang dan berhati-hati menatap ke depan.

Maka seperti apakah risau kita hari ini?


7 Langkah inisiator

0 komentar

Pertama, sadarilah nikmat hidup yang Allah berikan.
Rasulullah saw bersabda, "Ada dua ni’mat yang manusia sering tertipu karenanya, ni’mat sehat dan ni’mat waktu kosong.” (HR Bukhari). Seorang muslim akan tertipu selama ia tidak memanfaatkan nikmat sehat dan kelapangan rizkinya. Kesehatan dan waktu kosong ibarat modal dalam hidup, yang harus diinfakkan di jalan Aliah, untuk memperoleh keuntungan akhirat. Bila tidak, waktu akan melibasnya. Akibatnya, inisiatif beramal mati.

Ibnu Bathal mengomentari hadits Rasulullah di atas, “Ingat, kenapa Rasulullah mengatakan, kebanyakan manusia tertipu? Lantaran hanya sebagian kecil manusia saja yang tidak tertipu oleh dua nikmat itu. Ada di mana kita?” Ibnul Jauzi lebih jauh lagi menguraikan makna hadits itu. “Ada kalanya manusia sehat secara fisik, tapi ia tidak punya waktu luang karena kesibukannya mencari nafkah. Ada pula orang yang memiliki harta banyak dan tidak sibuk mencari nafkah, tapi tubuhnya sakit. Bila kedua penyakit itu berkumpul, dan orang itu ditimpa kemalasan dari berbuat ketaatan, kondisi itulah yang dikatakan tertipu.”

Kedua,peliharalah rasa percaya diri, cita-cita tinggi dan semangat kuat mengalahkan bisikan syaitan.
Untuk memiliki daya inisiatif yang kuat diperlukan rasa percaya diri. Tapi seringkali syaitan selalu mempengaruhi seseorang bahwa ia tak mampu melakukan apa-apa sehingga ia bersikap pasif. Syaitan juga membisikkan seseorang bahwa ia tidak mampu melakukan sesuatu dengan baik. Ia mempengaruhi persepsi seseorang terhadap suatu masalah, bahwa ia tak berkepentingan atau tidak kompeten terhadap masalah itu. Syaitan juga menghampiri seseorang dan membisikkan bahwa suatu amal yang akan dilakukan itu bernilai riya, dan sebagainya. Sampai akhirnya, seseorang bisa melakukan uzlah (pengasingan) yang keliru, tidak bicara dengan alasan tawadhu’, sampai ia kehilangan kesempatan untuk berbuat baik, dan tertutup pintu kebaikan di hadapannya.

Bila syaitan gagal menjebak manusia dalam cara di atas, ia akan masuk melalui pintu pemberian skala prioritas beramal yang nisbi. Syaitan akan merancukan antara yang harus dilakukan dan sebuah keutamaan saja. Bisikan syaitan ini tentu diiringi dengan serentet alasan dan argumen. Karenanya, seorang muslim seharusnya memiliki neraca ilmu syari’at untuk menutup celah bisikan syai-tan dalam hal ini.

Rasa percaya diri akan menyokong cita-cita yang tinggi. Inilah yang dilakukan oleh para sahabat di antaranya Rabi’ah bin Ka’b Al-Aslami ketika ia ditanya oleh Rasulullah agar menyebutkan permintaannya. Rabi’ah segera menjawab, “Saya ingin menjadi pendampingmu di surga." Imam Ali ra pernah menguraikan harapannya, yaitu terkena pukulan pedang, puasa di tengah musim panas, dan memuliakan tamu. Sedangkan dimata Khalid bin Walid, bertempur di medan perang lebih ia sukai daripada bermalam denqan pengantin baru.

Ketiga, jangan menyepelekan amal meski sedikit.
Jangan juga memandang yang banyak itu itu berarti banyak. Sebab seringkali sesuatu yang kecil menjadi besar karena niat, dan banyak pula sesuatu yang besar menjadi kecil karena niat. Rasulullah saw pernah menyebutkan banyak pintu kebaikan. Termasuk kebaikan bila seseorang memberikan air dalam embernya kepada ember milik saudaranya, tersenyum di hadapan saudaranya, atau sekadar menemuinya dengan wajah yang baik.

Allah swt berfirman, “Dan barang siapa yang mengerjakan kebaikan sebesar biji zarah niscaya ia akan menerima pahalanya, dan barangsiapa yang melakukan keburukan sebesar biji zarah niscaya ia akan menerima balasannya.” (Qs. Az-Zalzalah: 7-8).

Ketika Sa’ad bin Abi Waqqash ditanya tentang pahala sadaqah dua butir korma, ia mengatakan,"Allah menerima shadaqah (matsaqil) seperti biji zarah, dan itu artinya dalam dua buah korma ini terdapat matsaqil zarah yang amat banyak.” (Tafsir Qurthubi:20/152)

Seorang muslim tidak memandang kecil pekerjaan yang baik. Dari pandangan seperti inilah, ia terdorong untuk berkreasi dan berinisiatif dalam berbuat kebaikan. Seorang da’i tidak akan menyepelekan sekadar tersenyum kepada tetangga, memberi nasihat pada orang yang menemaninya ketika bekerja, mendengar ayat Al-Qur‘an dalam perjalanan mobil dan sebagainya.

Keempat, jangan menyia-nyiakan waktu.
Ibnu Mas’ud sangat membenci orang yang menyia-nyiakan waktu tanpa ada pekerjaan. "Aku sangat membenci orang yang tak mengerjakan apa-apa. Tidak amal akhirat, juga tidak amal dunia.” Para salafusshalih merasakan manfaat waktu hingga mereka menyadari begitu berharganya setiap detak jantung atau hirupan nafas mereka yang harus mereka gunakan untuk kebaikan. Setiap detik yang berlalu takkan kembali, apalagi hari-hari atau malam-malam. Iman syahid Hasan al-Banna mengatakan, “Waktu itu adalah kehidupan."

Ketika Abdullah bin Mubarak ditanya para sahabatnya, "Bukankah engkau telah melakukan shalat, tapi kenapa engkau tidak mau nongkrong bersama kami di sini?” Abdullah bin Mubarak menjawab, "Aku memilih duduk bersama para sahabat dan para tabi’in. Aku akan membaca kitab dan mencatat perkataan mereka. Sedangkan bila kududuk bersama kalian, apa yang bisa kuperbuat? Paling-paling kalian membicarakan orang lain." (Siyar a’lami an-Nubala, 2/348).

Allah swt berfirman, “Dan bila kalian selesai mengerjakan sesuatu maka kerjakanlah dengna sungguh urusan yang lain.” (Qs, Al-Insyirah: ) Maksudnya, menurut Ibnu Abbas, "Dan bila engkau selesai mengerjakan shalat maka bersungguh-sungguhlah dalam berdo’a." Sedangkan Mujahid mengatakan, “Bila kalian selesai mengerjakan aktivitas duniamu maka isilah dengan ibadah shalat." (Al-Kasyaf, 4/267)

Kelima, perluas lingkup interaksi dengan banyak kalangan.
Jangan membatasi pergaulan dengan komunitas tertentu yang sempit dan sangat terbatas. Pergaulan yang sempit biasanya akan melahirkan pandangan dan wawasan yang sempit dalam menyikapi suatu masalah. Inilah hikmah dari banyak firman Allah yang menganjurkan umat-Nya untuk berpergian dan berjalan di muka bumi. “Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang denganya mereka dapat memahami dan mempunyai telinga yang dengannya mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta adalah hati yang ada di dalam dada.”(QS. Al-Hajj: 46)

Ini rahasianya mengapa Rasulullah saw sejak kecil telah mendapat didikan memikul tanggung jawab berdagang dan berkeliling ke berbagai lokasi. Di sana beliau berinteraksi dengan banyak kelompok manusia hingga ketika dewasa beliau memiliki pandangan yang luas. Diriwayatkan, bahwa tempat main Khalid di masa kecil sampai ke wilayah Syam.

Keenam, biasakanlah berdiskusi dan membahas suatu masalah dengan banyak kalangan.
Seseorang akan banyak memetik pengalaman dan pelajaran berharga dari banyak orang. Rasulullah selalu melibatkan para sahabat untuk bermusyawarah sehingga mereka terbiasa menyerap banyak pendapat maupun melontarkan gagasannya kepada orang lain. Pola da’wah Rasul dengan para pembesar Quraisy maupun Yahudi banyak yang menggunakan sistem dialog dan diskusi.

Ketujuh, berdo’alah kepada Allah dengan merasa fakir di hadapan-Nya.
Perasaan lemah dan tak berdaya di hadapan Allah merupakan faktor yang efektif untuk memicu motivasi dan melahirkan banyak kreatifitas, seiring dengan tingkat kerendahannya di hadapan Allah dan seimbang dengan bagaimana ia rneminta pertolongan dari Allah. Inilah modal pertama dan paling besar bagi seorang da’i untuk tetap memiliki bashirah, ketajaman pandangan, yang melahirkan ide, inisiatif dan kreatifitas dalam beramal. Wallahu a’lam bi shawab.


Visi, Misi dan 3 Pilar Utama

0 komentar

VISI AVATAR COMPUTER CENTER

Menjadi penyedia jasa kebanggaan yang Unggul, Terkemuka dan Terdepan dalam Layanan dan Kinerja

Pernyataan Visi

Menjadi penyedia jasa kebanggaan, yang menawarkan layanan terbaik dengan harga kompetitif kepada segmen pasar corporat, komersial, Edukasi dan consumer

Misi AVATAR COMPUTER CENTER
Interaksi kerja di perusahaan lebih mengutamakan semangat kebersamaan sebagai sebuah tim kerja yang kuat. Hal ini memungkinkan seluruh komponen perusahaan mulai dari level teratas sampai dengan level terbawah mampu bersama-sama terstimulasi,terkoordinasi dan tersistemasi memberikan karya terbaiknya demi mewujudkan pelayanan terbaik dan utama kepada costumer, untuk itu kami memiliki Misi
- Memberikan layanan prima dan solusi yang bernilai tambah kepada seluruh consumer, dan selaku mitra pillihan utama
- Menciptakan kondisi terbaik sebagai tempat kebanggaan untuk berkarya dan berprestasi.
- Meningkatkan kepedulian dan tanggung jawab terhadap lingkungan sosial.
- Menjadi acuan pelaksanaan kepatuhan dan tata kelola perusahaan yang baik.
- Menyediakan Layanan Prima

TIGA PILAR UTAMA
Untuk mewujudkan visi dan misi perusahaan, ada 3 (tiga) nilai sebagai pilar utama yang menjadi motivasi,inspirasi dan semangat juang Avatar Computer Center. Proses kerja dilakukan dengan semangat kebersamaan untuk sampai pada hasil yang mendapat pengakuan dari para Costumer atas kualitas integritas dan dedikasi yang ditampilkan.

1. Keutamaan Dalam Kebersamaan
2. Bersatu Padu
3. Oke (Oke Dalam Kualitas, Oke Dalam Pelayanan, Oke dalam Harga)


Latar Belakang

0 komentar

CV. Avatar computer center merupakan sebuah perusahaan yang berdiri di pertengahan tahun 2010 Avatar Computer Center hadir untuk memberikan pelayanan lebih kepada pelanggannya dengan menghadirkan product jasa Pengetikan, Rental Komputer, Service Computer bergaransi pelatihan bergaransi dan warnet, awal Pendiriannya product unggulan Avatar Computer Center yaitu pengetikan dan rental computer. Kemudian Belakangan Di hadirkan Produk jasa terbaru yaitu Service Komputer, pelatihan dan juga warnet Dengan adanya Product Tersebut, kami berharap bisa memenuhi kebutuhan Costumer akan teknologi yang berkembang Pesat saat ini. Bertambahnya product Jasa di Avatar Computer Center semata-mata hanya ingin memberikan layanan prima dan solusi yang bernilai tambah kepada seluruh consumer, dan selaku mitra pillihan utama Product-product yang kami tawarkan adalah layanan yang terbaik dengan harga yang kompetitif. Dengan hadirnya product yang baru kami luncurkan ini kami berharap anda semua akan merasa terpenuhi dalam informasi tekologi saat ini.